Kamis, 19 Mei 2011

Metode Belajar (Mudzakarah, Munadhzarah dan Mutharahah)

Sebuah pekerjaan menjadi lebih mudah dan kemungkinan besar akan meraih hasil jika dilakukan cara yang metodologis. Terlebih jika pekerjaan itu adalah menuntut ilmu, maka bagi para penuntut ilmu harus memiliki metode yg tepat dalam belajar.
Berikut kami petik dari kitab Ta'limu Muta'allim yang sangat terkenal di kalangan pesantren.

ولا بد لطالب العلم من المذاكرة، والمناظرة، والمطارحة، فينبغى أن يكون كل منها بالإنصاف والتأنى والتأمل، ويتحرز عن الشغب [والغضب]، فإن المناظرة والمذاكرة مشاورة، والمشاورة إنما تكون لاستخراج الصواب وذلك إنما يحصل بالتأمل والتأنى والإنصاف، ولا يحصل بالغضب والشغب.
فإن كانت نيته من المباحثة إلزام الخصم وقهره، فلا تحل، وإنما يحل ذلك لإظهار الحق. والتمويه والحيلة لا يجوز فيها، إلا إذا كان الخصم متعنتا، لا طالبا للحق. وكان محمد بن يحيى  إذا توجه عليه الإشكال ولم يحضره الجواب يقول: ما ألزمته لازم، وأنا فيه ناظر، وفوق كل ذى علم عليم.

Seorang pelajar seharusnya melakukan mudzakarah (forum saling mengingatkan), munadhzarah (forum adu argumentasi/diskusi) dan mutharahah (forum tanya jawab). Hal ini hendaklah dilakukan atas dasar keinsyafan, kebijakan dan keseriusan serta menjauhi hal­-hal yang membawa akibat buruk (mis. pertengkaran). Munadhzarah dan mudzakarah adalah cara-cara dalam melaksanakan musyawarah, sedang bermusyawarah itu sendiri dimaksudkan untuk mencari kebenaran, karenanya harus dilakukan dengan serius, bijaksana dan penuh keinsyafan. Dan tidak akan berhasil, bila dilaksanakan dengan cara kekerasan (amarah) dan serampangan.

Apabila motivasi di dalam pembahasan itu untuk sekedar mengobarkan perang lidah (dalam mutharahah), maka demikian itu tidak diperboiehkan (menurut agama). Yang diperbolehkan adalah dalam rangka mencari kebenaran.
Bicara berbelit-belit dan membuat-buat alasan [untuk pembenaran] itu tidak diperkenankan (dalam munadhzarah), selama lawan bicaranya tidak sekedar mencari kemenangan, [karena ini] berarti masih dalam kerangka mencari kebenaran.

Ketika kepada Muhammad bin Yahya diajukan suatu kemusykilan (persoalan yang sulit) yang beliau sendiri belum menemukan pemecahannya, rnaka beliau katakan, "Pertanyaan anda saya catat dahulu untuk kucari pemecahannya. Di atas orang berilmu masih ada yang lebih banyak (tinggi) ilmunya."

Selasa, 10 Mei 2011

Sholat (الصلاة) Bagian - 2

Anak lelaki atau perempuan mu­mayyiz -yaitu yang telah dapat makan, minum, bersuci sendiri-, wajib atas kedua orang tuanya, (na­sabnya dalam garis lurus ke atas), dan orang yang mendapat wasiat memelihara anak itu, untuk me­nyuruhnya mengerjakan shalat walaupun shalat qodlo' de­ngan segala syarat-syaratny, jika anak tersebut sudah genap berumur 7 tahun, walaupun se­belum umur itu anak tersebut te­lah mumayyiz.
Seyogyanya bersama dengan pe­rintah tersebut, diikutkan juga sedikit ancaman kekerasan. Anak kecil yang telah mencapai umur genap 10 tahun, kalau meninggalkan shalat, meninggal­kan mengqodlo' yang tertinggal atau mengabaikan syarat-syarat shalat, maka bagi orang tua dan lainnya seperti di atas wajib me­mukulnya asal jangan sampai membahayakan.
Berdasarkan Hadits Shahih : "Pe­rintahlah anak kecil itu mengerja­kan shalat jika telah berusia 7 th. Dan bila berumur 10 tahun, pu­kullah kalau ternyata ia mening­galkannya."
Seperti halnya kalau ia sudah kuat berpuasa. Dia diperintah ber­puasa sejak berumur 7 tahun, dan dipukul setelah berumur 10 tahun kalau tidak berpuasa. Seperti hal­nya memerintah shalat.
Adapun hikmah dari itu semua, sebagai latihan ibadah agar mem­biasakan diri dan tidak akan me­ninggalkannya.

Minggu, 08 Mei 2011

Shalat (الصلاة) Bagian - 1


Shalat (الصلاة) menurut istilah Syara' ialah "Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang diawali de­ngan takbir dan diakhiri dengan salam."

Shalat-shalat Fardlu 'Ain itu lima kali selama sehari semalam, yang diketahui dengan pasti dari penjelasan agama (ma'lumatun min ad-diin bi ad-dhoruurah). Karena itu, orang yang menentangnya di hu­kum Kafir.
Shalat fardlu yang lima ini ber­kumpul semuanya sebagai kesa­tuan hanya pada ajaran yang di­bawa oleh Nabi Muhammad saw. 
Kefardluan shalat yang lima itu diturunkan pada malam Isra, malam 27 bulan Rajab 10 tahun 3 bulan terhitung semenjak Mu­hammad diangkat menjadi Rasul. Shalat Shubuh tanggal 27 Rajab tersebut tidak wajib dikerjakan, karena belum diketahui cara-cara mengerjakannya.
Shalat Maktubah lima waktu itu wajib dikerjakan hanya oleh se­tiap orang Islam yang mukallaf -yaitu yang telah sampai baligh, berakal sehat-, yang suci.
Maka shalat tidak diwajibkan atas orang Kafir asli, orang gila. Juga sedang ayan dan sedang mabuk yang keduanya bukan akibat main­-main. Karena mereka tidak terkena beban agama; dan tidak 'diwajibkan pula atas perempuan yang sedang menstruasi dan nifas, karena shalat tidak shah dikerja­kan mereka, dan merekapun tidak wajib mengqodlo'-nya.
Tetapi shalat tetap diwajibkan atas orang murtad dan orang yang mabuk akibat main-main. Orang muslim mukallaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda shalat fardlu hingga melewati waktu penjama'annya, ia malas melakukannya sedang berkeya­kinan bahwa shalat itu wajib di­kerjakan, kemudian disuruh ber­taubat dan ia tidak mau bertau­bat, maka dikenakan hadd (=pi­dana) pancung leher.
Menurut pendapat bahwa me­nyuruh bertaubat itu sunnah ti­dak wajib, maka pemancung le­her orang yang menunda shalat seperti di atas sebelum bertau­bat adalah tidak dikenakan pida­na. Tetapi pemancung itu telah menjalankan dosa
Orang yang meninggalkan shalat karena menentangnya sebagai ke­wajiban, adalah dibunuh sebagai orang kafir. la tidak usah diman­dikan dan tidak pula dishalati.
Apabila seseorang dengan tanpa ada halangan ia meninggalkan sha­lat, maka ia wajib segera mengqa­dlo' shalat itu.
la wajib qodlo' seketika itu juga. Syaikhuna Ahmad bin Hajar -rahmat Allah semoga padanya­mengemukakan : Yang jelas, o­rang yang tertinggal shalat harus­lah menggunakan secukup waktu untuk mengqodlo'nya selain wak­tu yang digunakan untuk melaku­kan sesuatu yang wajib atasnya; di samping juga haram baginya melakukan shalat sunnah (sebe­lum shalat qodlo' ).
Apabila seseorang tertinggal sha­lat lantaran suatu halangan -misal­nya tidur atau lupa yang benar­benar bukan main-main-, maka dalam kewajiban Qodlo'nya, ia disunnahkan melakukan dengan segera.
Jika seseorang tertinggal shalat karena suatu udzur, maka dalam kewajiban qodlo'nya ia disunnah­kan melakukan shalat-shalat yang tertinggal secara berurutan waktu­nya -ia melakukan qodlo' shalat Shubuh sebelum Dhuhur, dst-.
Dan disunnahkan mendahul ukan qodlo' sebelum shalat yang bera­da (ada'), kalau tidak khawatir kehabisan waktunya ; Menurut pendapat yang mu'tamad, bah­wa kesunnatan mendahulukan qodlo' dari shalat Ada' itu tetap berlaku, walaupun khawatir akan ketinggalan berjama'ah.
Kalau ia tertinggal shalatnya bu­kan karena suatu udzur, maka wajib mendahulukan qodlo' dari­pada shalat Adaa'.
Adapun jika dia khawatir keha­bisan waktu untuk shalat Adaa' sehingga sepotong -walaupun se­dikit- dari shalat Adaa' akan ter­jadi di luar waktu, maka dia harus mendahulukan shalat Adaa'nya. Wajib mendahulukan qodlo' sha­lat yang tertinggal tanpa udzur, atas qodlo' shalat yang tertinggal sebab suatu udzur, walaupun me-. nyebabkan tidak tertib waktunya. Karena tertib itu sunnah, sedang­kan bersegera adalah wajib.
Sunnah membelakangkan shalat Rowatib sesudah qodlo' shalat yang tertinggal sebab udzur; dan wajib, kalau tertinggalnya itu tan­pa suatu udzur.

Siapakah Ahlusunnah Wal Jama'ah

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
ــــ فمن اراد بحبوحة الجنّة  فليلزم الجماعة (رواه ترمذى)ـ
Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah ; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah”. 
(Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih).

Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) -semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). 
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka.