Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di atas makhluk yang lain, dititahkan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di muka bumi ini. Pengertian khalifah atau pengganti, berfungsi penugasan dan pembebanan (taklif) kepada manusia untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini manusia dibekali potensi dan kekuatan fisik dan kemampuan berpikir. Manusia diberi kekuatan untuk menggunakan akal secara penuh. Ini tidak berarti bahwa akal manusia adalah satu-satunya potensi absolut yang mampu memecahkan segala persoalan hidupnya, karena manusia juga diberi rasa dan nafsu yang saling mempengaruhi dalam setiap proses pengambilan keputusan atau penegasan sikap. Bahkan kecenderungan nafsu ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila pikir dan rasa tidak mampu mengendalikan.
Manusia -oleh karenanya- dalam kehidupan sosial dituntut dan bertanggung jawab untuk mengajak mengerjakan makruf sekaligus meninggalkan kemungkaran. Ini berarti manusia tidak bisa terlepas dari fungsi dakwah. Bahwa dakwah mempunyai relevansi sepanjang masa, karena manusia tidak bisa lepas dari nafsu dan berbagai kecenderungan negatifnya.
Manusia dengan hidup dan kehidupannya selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih balk, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah maupun bagi sesamanya. Karena itu, dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang; seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada indikasi mencolok yang menunjukkan bahwa Islam di Indonesia semakin mendapatkan tempat yang luas di kalangan masyarakat, dari kelompok remaja maupun kelompok tua. Mushala dan masjid dibangun di mana-mana dan selalu dipadati oleh kaum muslimin. Kelompok pengajian, majelis taklim dan kajian Islam muncul bagaikan cendawan di musim penghujan. Namun, semua itu tidak berarti ada perkembangan dan pengambangan agama Islam. Karena, berkembangnya jumlah pemeluk agama Islam yang menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap agama, tidak atau belum berarti bahwa ajaran agama Islam secara substansial juga berkembang.
Dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islam tidak lagi menjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islam dalam bermasyarakat dan bernegara, mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala sebagai akibat kemajuan dunia usaha yang mengacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada giliirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan menghilangkan keimanan.
Pemahaman tentang konsep ibadah pada umumnya masih terpaku pada bentuk-bentuk ritual formal, terikat oleh syarat, rukun, waktu, dan ketentuan ketentuan tertentu. Misal shalat, itu saja pelaksanaannya masih belum pas. Sedangkan persepsi tentang ibadah nonformal, lebih-lebih ibadah sosial (tidak individual) masih jauh dari harapan. Padahal yang terakhir ini justru lebih bermakna daripada ibadah individual formal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekular, sementara di sisi lain justru semakin bersifat agamis, bahkan cenderung sufistik atau fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga masyarakat yang sering disebut paranormal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yang mengalami keputusasaan. Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan mereka. Pemaharnan mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dan dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya komponen akidah, syariat, akhlak mu'asyarah, dan lain sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalensi dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di pihak lain. Hal ini cenderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari keduanya sering mengundang kesalahpahaman.
Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengundang, mengajak, dan mendorong. Konotasi dakwah yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan, atau memerintah melalui pekerjaan makruf dan melarang bertindak mungkar. Dapat juga dakwah diartikan mengajak sasaran ke jalan Allah, yakni agama Islam. Pengertian tersebut dapat dipahami dari ayat Al-Qu'an 104 surat Ali Imran dan ayat 125 surat an-Nahl. Dari sini dapat dibedakan antara dakwah dan di'âyah (propaganda) serta indoktrinasi. Dalam di'ayah, yang dipropagandakan belum tentu sesuatu yang baik. Sedangkan dalam indoktrinasi terdapat unsur paksaan. Berbeda dengan dakwah, di mana sesuatu yang didakwahkan tentu baik dan tidak mengundang unsur paksaan, tetapi justru menumbuhkan kesadaran.