Kamis, 02 Januari 2014

Tanggapan atas Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah


Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda : 

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah..

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidin maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .


Hadits tersebut meskipun menggunakan lafadzh yang umum seperti terindikasi dalam kata "kullu" (setiap), tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. 
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah 'Kullu Bid’atin dhlalalah' ini adalah 'Amm Makhshush,  yakni lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)”. (lihat kitab Syarah Shahih Muslim, Juz. 6, hlm. 154). 

Tinjauan dari segi Ilmu balaghoh, yang demikian itu diistilahkan dengan "hadzfu as-sifaati 'alaa al-maushuufi" (membuang kata shifat dari yang disifati). Seyogyanya kata bid'ah (yang merupakan isim) itu tentu memiliki sifat, dan mungkin saja sifat itu "baik" atau mungkin juga "jelek". Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas.
Dan jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid'ah kemungkinannya adalah sebagai berikut :
  • Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua "bid’ah yang baik" itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka.

Hal ini tidak mungkin, sebab mana mungkin sifat baik (hasanah) dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda pada waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.

  • Kemungkinan kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّاِر
Semua "bid’ah yang jelek" itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka.
Jadi kesimpulannya bid'ah yang sesat masuk neraka adalah bid'ah sayyiah (bid'ah yang jelek).

Kamis, 19 Mei 2011

Metode Belajar (Mudzakarah, Munadhzarah dan Mutharahah)

Sebuah pekerjaan menjadi lebih mudah dan kemungkinan besar akan meraih hasil jika dilakukan cara yang metodologis. Terlebih jika pekerjaan itu adalah menuntut ilmu, maka bagi para penuntut ilmu harus memiliki metode yg tepat dalam belajar.
Berikut kami petik dari kitab Ta'limu Muta'allim yang sangat terkenal di kalangan pesantren.

ولا بد لطالب العلم من المذاكرة، والمناظرة، والمطارحة، فينبغى أن يكون كل منها بالإنصاف والتأنى والتأمل، ويتحرز عن الشغب [والغضب]، فإن المناظرة والمذاكرة مشاورة، والمشاورة إنما تكون لاستخراج الصواب وذلك إنما يحصل بالتأمل والتأنى والإنصاف، ولا يحصل بالغضب والشغب.
فإن كانت نيته من المباحثة إلزام الخصم وقهره، فلا تحل، وإنما يحل ذلك لإظهار الحق. والتمويه والحيلة لا يجوز فيها، إلا إذا كان الخصم متعنتا، لا طالبا للحق. وكان محمد بن يحيى  إذا توجه عليه الإشكال ولم يحضره الجواب يقول: ما ألزمته لازم، وأنا فيه ناظر، وفوق كل ذى علم عليم.

Seorang pelajar seharusnya melakukan mudzakarah (forum saling mengingatkan), munadhzarah (forum adu argumentasi/diskusi) dan mutharahah (forum tanya jawab). Hal ini hendaklah dilakukan atas dasar keinsyafan, kebijakan dan keseriusan serta menjauhi hal­-hal yang membawa akibat buruk (mis. pertengkaran). Munadhzarah dan mudzakarah adalah cara-cara dalam melaksanakan musyawarah, sedang bermusyawarah itu sendiri dimaksudkan untuk mencari kebenaran, karenanya harus dilakukan dengan serius, bijaksana dan penuh keinsyafan. Dan tidak akan berhasil, bila dilaksanakan dengan cara kekerasan (amarah) dan serampangan.

Apabila motivasi di dalam pembahasan itu untuk sekedar mengobarkan perang lidah (dalam mutharahah), maka demikian itu tidak diperboiehkan (menurut agama). Yang diperbolehkan adalah dalam rangka mencari kebenaran.
Bicara berbelit-belit dan membuat-buat alasan [untuk pembenaran] itu tidak diperkenankan (dalam munadhzarah), selama lawan bicaranya tidak sekedar mencari kemenangan, [karena ini] berarti masih dalam kerangka mencari kebenaran.

Ketika kepada Muhammad bin Yahya diajukan suatu kemusykilan (persoalan yang sulit) yang beliau sendiri belum menemukan pemecahannya, rnaka beliau katakan, "Pertanyaan anda saya catat dahulu untuk kucari pemecahannya. Di atas orang berilmu masih ada yang lebih banyak (tinggi) ilmunya."

Selasa, 10 Mei 2011

Sholat (الصلاة) Bagian - 2

Anak lelaki atau perempuan mu­mayyiz -yaitu yang telah dapat makan, minum, bersuci sendiri-, wajib atas kedua orang tuanya, (na­sabnya dalam garis lurus ke atas), dan orang yang mendapat wasiat memelihara anak itu, untuk me­nyuruhnya mengerjakan shalat walaupun shalat qodlo' de­ngan segala syarat-syaratny, jika anak tersebut sudah genap berumur 7 tahun, walaupun se­belum umur itu anak tersebut te­lah mumayyiz.
Seyogyanya bersama dengan pe­rintah tersebut, diikutkan juga sedikit ancaman kekerasan. Anak kecil yang telah mencapai umur genap 10 tahun, kalau meninggalkan shalat, meninggal­kan mengqodlo' yang tertinggal atau mengabaikan syarat-syarat shalat, maka bagi orang tua dan lainnya seperti di atas wajib me­mukulnya asal jangan sampai membahayakan.
Berdasarkan Hadits Shahih : "Pe­rintahlah anak kecil itu mengerja­kan shalat jika telah berusia 7 th. Dan bila berumur 10 tahun, pu­kullah kalau ternyata ia mening­galkannya."
Seperti halnya kalau ia sudah kuat berpuasa. Dia diperintah ber­puasa sejak berumur 7 tahun, dan dipukul setelah berumur 10 tahun kalau tidak berpuasa. Seperti hal­nya memerintah shalat.
Adapun hikmah dari itu semua, sebagai latihan ibadah agar mem­biasakan diri dan tidak akan me­ninggalkannya.