Senin, 17 Januari 2011

DAKWAH YANG PARTISIPATIF


Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di atas makhluk yang lain, dititahkan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di muka bumi ini. Pengertian khalifah atau pengganti, berfungsi penugasan dan pembebanan (taklif) kepada manusia untuk melak­sanakan tugas-tugas kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini manusia dibekali potensi dan kekuatan fisik dan kemampuan berpikir. Manusia diberi kekuatan untuk menggunakan akal secara penuh. Ini tidak ber­arti bahwa akal manusia adalah satu-satunya potensi absolut yang mampu memecahkan segala persoalan hidupnya, karena manusia juga diberi rasa dan nafsu yang saling mempengaruhi dalam setiap proses peng­ambilan keputusan atau penegasan sikap. Bahkan ke­cenderungan nafsu ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila pikir dan rasa tidak mampu mengendalikan.
Manusia -oleh karenanya- dalam kehidupan sosial dituntut dan bertanggung jawab untuk mengajak mengerjakan makruf sekaligus meninggalkan ke­mungkaran. Ini berarti manusia tidak bisa terlepas dari fungsi dakwah. Bahwa dakwah mempunyai rele­vansi sepanjang masa, karena manusia tidak bisa lepas dari nafsu dan berbagai kecenderungan negatifnya.
Manusia dengan hidup dan kehidupannya selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih balk, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah maupun bagi sesamanya. Karena itu, dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang; seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada indikasi mencolok yang menunjukkan bahwa Islam di Indonesia semakin mendapatkan tempat yang luas di kalangan masyarakat, dari kelompok remaja maupun kelompok tua. Mushala dan masjid dibangun di mana-mana dan selalu dipadati oleh kaum muslimin. Kelompok pengajian, majelis taklim dan kajian Islam muncul bagaikan cendawan di musim penghujan. Namun, semua itu tidak berarti ada perkembangan dan pengambangan agama Islam. Karena, berkembang­nya jumlah pemeluk agama Islam yang menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap agama, tidak atau belum berarti bahwa ajaran agama Islam secara sub­stansial juga berkembang.
Dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islam tidak lagi menjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islam dalam bermasyarakat dan bernegara, mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala sebagai akibat kemajuan dunia usaha yang mengacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada giliirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan menghilangkan keimanan.
Pemahaman tentang konsep ibadah pada umum­nya masih terpaku pada bentuk-bentuk ritual formal, terikat oleh syarat, rukun, waktu, dan ketentuan ketentuan tertentu. Misal shalat, itu saja pelaksanaan­nya masih belum pas. Sedangkan persepsi tentang ibadah nonformal, lebih-lebih ibadah sosial (tidak in­dividual) masih jauh dari harapan. Padahal yang ter­akhir ini justru lebih bermakna daripada ibadah in­dividual formal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekular, sementara di sisi lain justru semakin bersifat agamis, bahkan cenderung sufistik atau fundamen­talistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga masyarakat yang sering disebut paranormal yang menjadi tempat pe­larian bagi orang-orang yang mengalami keputusasaan. Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keber­agamaan mereka. Pemaharnan mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dan di­namis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya komponen akidah, syariat, akhlak mu'asyarah, dan lain sebagai­nya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalensi dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di pihak lain. Hal ini cenderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam ke­hidupan, sementara itu upaya pengembangan pema­haman integratif yang memperjelas hubungan simbio­sis dari keduanya sering mengundang kesalahpaham­an.
Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengundang, mengajak, dan mendorong. Konotasi dakwah yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan, atau memerintah melalui pekerjaan makruf dan melarang bertindak mungkar. Dapat juga dakwah diartikan mengajak sasaran ke jalan Allah, yakni agama Islam. Pengertian tersebut dapat dipahami dari ayat Al-Qu'an 104 surat Ali Imran dan ayat 125 surat an­-Nahl. Dari sini dapat dibedakan antara dakwah dan di'âyah (propaganda) serta indoktrinasi. Dalam di'ayah, yang dipropagandakan belum tentu sesuatu yang baik. Sedangkan dalam indoktrinasi terdapat unsur paksaan. Berbeda dengan dakwah, di mana sesuatu yang didakwahkan tentu baik dan tidak mengundang unsur paksaan, tetapi justru menumbuhkan kesadaran.
Kegiatan dakwah islamiah tidak bisa lepas dari lima unsur yang harus berjalan serasi dan seimbang. Karena kegiatan dakwah merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (dai) dan sasaran dakwah (ma­syarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah, di mana keduanya sama-sama menuntut porsi materi, media, dan metode tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil apabila kelima unsur di atas berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan "pengajian° di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan masyarakat luas dan heterogen, yang me­nyambutnya dengan tepukan tangan menggema di tengah-tengah lapangan. Melainkan lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari pengamalan dan wawasan agamanya.
Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan dak­wah hanya dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum pengajian dan hebatnya mubalig yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu, biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diim­bangi dengan evaluasi massa pengunjungnya. Apa­kah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wa­wasan keberagamaan nya ? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan kagum dan puas terhadap pembawaan mubalig ?
Pengembangan dakwah islamiah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagama­an, penghayatan, dan pengamalannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah perubahan sikap dan perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang islami. Dari dimensi lain pengembangan itu me­rupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah islamiah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kon­tekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap dai/mubalig, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai islami.
Efektivitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, sekaligus men­dorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pen­dekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuh­an. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan secara sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisio­nal, mengutamakan besarnya massa.
Pendekatan partisipatif menghendaki sasaran dakwah dilibatkan dalam perencanaan dakwah, bah­kan dalam penggalian permasalahan dan kebutuhan. Di sinilah akan tumbuh dinamisasi ide dan gagasan baru, di mana para dai berperan sebagai pemandu dialog-dialog keberagamaan yang muncul dalam mencari alternatif pemecahan masalah.
Dakwah islamiah dituntut untuk bisa meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kontradiksi atau konflik dalam kehidupan manusia, akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inheren dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara­permanen, kebebasan-keterbatasan, dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai, dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan kese­imbangan-keseimbangan yang implementatif mampu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian, ajaran Islam menjadi alternatif bagi upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya.
Memang hal ini tidak mudah, memerlukan dai­-dai berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan pe­rilaku dalam kehidupan islami, yang mampu meng-aktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas ma­syarakat. Dalam hal ini, Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para dai harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan me­nampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li an-nâs). Ini berarti pelaku dakwah (dai) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa, di mana, dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, po­sisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan­-pilihan penerapan metode hikmah, mau'izhah hasanah, mujadalah bi ihsan, dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.
Pandangan orang tentang hidup selalu berbeda. Pertanyaan, untuk apa hidup bagi manusia. Selalu ber­beda jawabannya. Bagi umat Islam, hidup bukan untuk sekadar hidup. Hidup bukan tujuan. Hidup dan kehidupan rnanusia merupakan proses yang akan ber­akhir di dunia dengan datangnya kematian. Sebagai proses, hidup tentu memerlukan sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik adalah aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Perbedaannya dengan hidup yang dialami makhluk lain, hanyalah terletak pada nilai dan makna. Sedangkan nilai dan makna hidup manusia ditentukan oleh aspek spiritual.
Model pembangunan yang difokuskan pada per­tumbuhan dan pemerataan ekonomi, cenderung me­misahkan atau mengasingkan aspek spiritual. Alienasi keduanya tercermin pada gerakan dan pelembagaan agama, yang tidak menyatu dengan aktivitas pelemba­gaan ekonomi. Keadaan itu akan mengacu pada pem­bentukan nilai dan norma ekonomis. Ini berarti bahwa ekonomi merupakan sistem nilai tersendiri. Akibat­nya, gerakan ekonomi berhadapan secara diametral dengan sistem nilai spiritual. Pada gilirannya gerakan ekonomi berjalan bebas tanpa spiritualitas dan melun­curkan sikap kompetitif yang bila tidak dikontrol oleh aspek spiritual, akan cenderung ke arah individualis­me, materialisme, dan konsumerisme yang justru ber­tentangan dengan etika berekonomi dalam Islam.
Pada umumnya, di dalam masyarakat ekonomis aspek spiritualitas yang bertolak dari hakikat marta­bat manusia yang mulia, tidak bertahan lama. Sumber daya manusia, alam, ilmu pengetahuan, dan teknologi­ sebagai aset ekonomi yang sangat penting -di negara-negara ekonomi maju-, banyak mengakibatkan ber­bagai krisis spiritualitas. Kemiskinan nilai spiritual mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan bahwa alam bukanlah sahabat yang setia, melainkan sebagai kawulo yang harus ditaklukkan dan diperla­kukan sewenang-wenang.
Idealnya pengembangan dakwah yang efektif harus mengacu pada masyarakat untuk meningkatkan kualitas keislamannya, sekaligus juga kualitas hidupnya. Dakwah tidak saja memasyarakatkan hal-hal yang religius islami, namun juga menumbuhkan etos kerja. Inilah yang sebenarnya diharapkan oleh dakwah bil hal yang sering disebutkan oleh para mubalig. Dakwah bil hal ini bukan berarti tanpa maqâl (ucapan lisan dan tulisan), melainkan lebih ditekankan pada sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan nyata yang secara interaktif mendekatkan masyarakat pada ke­butuhannya, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi peningkatan keberagamaan.
Rekayasa pola pengembangan dakwah seperti ini, merupakan unsur alih teknologi sosial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sebagai imbangan alih teknologi materiil yang tidak akan ber­henti dengan segala dampaknya. Keseimbangan antara dua teknologi itu setidaknya akan menjanjikan ketenteraman hati serta gejolak sosial, yang kadang-­kadang berakibat pada semakin luasnya kesenjangan sosial dan stres di kalangan masyarakat awam. Kese­imbangan dimaksud akan mengacu ke arah tercapai­nya kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa'âdatuddarain). Prospek sosial ekonomi memang dapat dipro­yeksikan, tetapi dalam setiap kehidupan umat, inter­aksi antara semua aspek kehidupan sangat besar pengaruhnya dalam proses menuju prospek yang dicita-citakan. Masing-masing aspek tentu harus pasti, sehingga proses tersebut mengarah pada adanya kepastian. Bila yang terjadi sekarang adalah aspek­aspek positif mengalami ketidakpastian, maka pada masa depan yang pasti adalah ketidakpastian.
Ini berarti bahwa aspek ekonomi tidak dapat di­tarik ke depan tanpa aspek-aspek positif kehidupan lainnya secara simultan dalam suatu sistem yang seimbang. Pengembangan aspek ekonomi itu sendiri merupakan proses interaksi dari serangkaian upaya peningkatan sarana yang menunjang. Penumbuhan etos kerja yang diarahkan pada kualitas sumber daya manusia, yang seimbang dengan sumber daya alam maupun lapangan kerja yang tersedia atau yang mungkin diciptakan, merupakan kegiatan yang paling menentukan bagi tercapainya keadaan ekonomi yang stabil. Ini perlu dilakukan oleh gerakan Islam yang bergerak di bidang tersebut, tentu saja harus diim­bangi dengan pemantapan sikap mental yang diorien­tasikan pada aspek spiritual.

Sumber : http://arsyadi.net84.net